Seminggu yang lalu, aku ada keperluan ke kantor kelurahan
dan kantor kecamatan buat legalisir KTP ibu. Seperti biasa, prosedur birokrasi
kalo legalisir itu harus didahului di kelurahan baru kemudian di kecamatan. Saat
legalisir di kelurahan, berjalan cepat, tanpa antri dan tanpa bayaran. Kebetulan,
kelurahan itu sudah lama menerapkan sistem loket pembayaran disemua transaksi
kepengurusan. Gampangnya, kita dapet kuitansi pembayaran kalo memang disuruh bayar,
dan itu dipastikan legal.
Kemudian, aku pindah ke kantor kecamatan buat legalisir
lanjutan. Di kantor ini, dulu aku punya pengalaman menarik ketika ngurus revisi
Kartu Keluarga. Di meja layanan, si ibu disana bilang, “seikhlasnya mbak” ,
sambil si ibu sibuk steplesin dokumen yang dia pegang. “Whaatttt??!!” batinku, lebay juga kalo aku
sampe teriak gitu kan. Terus, sambil ambil uang, grusak grusuk sebel, aku kasih
aja goceng, dan aku langsung pergi. Ngomel ngomelnya di rumah.
Nah, kemarin itu, kejadiannya beda tapi garis merahnya sama.
Di kantor kecamatan itu ternyata sudah ada pusat pelayanan masyarakat, ada meja
layanan dan 4 PNS yang melayani, kemudian di sebrangnya ada deretan tempat
duduk buat orang-orang yang akan mengurus segala dokumen kependudukan, seperti
KTP, KK, atau perijinan yang lain. Aku serahin foto copy KTP terus aku nunggu
selagi diproses legalisir. Pas aku nunggu, aku liat orang-orang yang sudah
selesai urusannya ini, ngasih uang ke bapak-bapak PNS yang ada dipelayanan itu.
Buseett, gak berubah ternyata. Cuma ruangannya aja yang berubah, mentalnya masih
sama. Aku cuma liatin aja setiap orang yang selesai mengurus dokumen itu. Akhirnya,
legalisirku udah selesai ini, terus aku nama ibu dipaggil, legalisir nya aku
ambil, dan aku bilang “ makasih pak” terus keluar ruangan. Saat aku ambil
legalisir, dan bilang terimakasih, dan aku ga kasih uang ke bapaknya, aku liat
muka rada bengong, meskipun aku cuma liat 3 detik. Heuheuehu.. Udahlah pak, nulis,
stempel, ngasih dokumen ke atasan atau bagian yang lain, melayani urusan
seperti KK, KTP itu udah pekerjaan panjenengan, dan udah digaji. Kenapa harus
minta uang makan siang. Apa uangnya itu buat yang tanda tangan?
Menariknya, dihalaman kantor kecamatan, ada bapak penjaga
parkir, masih sama orangnya saat aku terakhir ke kantor itu. Aku kasih uang
2000, dan aku bilang “sampun pak, matur nuwun” maksudnya, udah pak,
terimakasih, gak usah kembali. Dan bapaknya bilang “mboten mbak, mangkeh
panjenengen kapok mriki” – “tidak mbak, nanti panjenengan kapok kesini”. Bisa
dibayangin kan, ketika ada orang-orang berseragam dengan gaji yang pasti setiap
bulan, kerja ditempat yang dingin, dan masih “minta-minta”, diluar ruangan itu,
ada bapak yang bekerja keras, bekerja jujur yang harus bekerja tiap hari, kalo
ga kerja mungkin ga bisa memenuhi kebutuhan pokoknya sekalipun.
Kata ustad Bachtiar Nasir : “Uang itu kalo dikit, kurang, kalo banyak, ga cukup. Itulah bedanya uang sama rezeki. Rezeki itu kalo sedikit cukup, kalo banyak itu barakah”
Semoga kita bisa mengambil hikmah,dan menjadi cerita ini
sebagai introspeksi diri.
Komentar
Posting Komentar